28/08/11

Skenario Kosovo Untuk Papua Merdeka

Penulis : Hendrajit (Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute-GFI) 
Ini bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap.
Menarik juga informasi ini jika benar. Karena dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin.
Beberapa fakta lapangan mendukung informasi sumber kami di Departemen Luar Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam dua bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.

Kalau RUU ini lolos, berarti ada beberapa elemen strategis di Washington yang memang berencana mendukung sebuah opsi untuk memerdekakan Papua secara bertahap. Dan ini berarti, sarana dan perangkat yang akan dimainkan Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi intelijen yang bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang sudah dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika. Bukan melalui sarana invasi militer seperti yang dilakukan George W. Bush di Irak dan Afghanistan.
Karena itu, Departemen Luar Negeri RI haruslah siap dari sekarang untuk mengantisipasi skenario baru Amerika dalam menciptakan aksi destabilisasi di Papua. Berarti, Departemen Luar Negeri harus mulai menyadari bahwa Amerika tidak akan lagi sekadar menyerukan berbagai elemen di TNI maupun kepolisian untuk menghentikan adanya pelanggaran- pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
Undang-Undang Foreign Relation Authorization Act (FRAA) Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka
Kalau RUU FRAA ini lolos di kongres Amerika, maka Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya kita juga lemah di fron diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di balik dukungan Obama dan Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan intelijen menjadi strategi dan sarana yang dimainkan Washington untuk menggolkan kemerdekaan Papua.
Karena itu, kita harus mewaspadai beberapa kasus kerusuhan yang meletus di Papua, bahkan ketika pemilihan presiden 8 Juli 2009 lalu sedang berlangsung.
Mari kita kilas balik barang sejenak. 13 Mei 2009, terjadi provokasi paling dramatis, ketika beberapa elemen OPM menguasai lapangan terbang perintis Kapeso, Memberamo, yang dipimpin oleh disertir tentara, Decky Embiri. Meski demikian, berkat kesigapan aparat TNI, pada 20 Juni 2009 berhasil dipukul mundur.
Namun provokasi OPM nampaknya tidak sampai di situ saja. 24 Juni 2009, OPM menyerang konvoi kendaraan polisi menuju Pos Polisi Tingginambut. Konvoi diserang di kampung Kanoba, Puncak Senyum, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. Anehnya, kejadian ini hanya 50 meter dari pos milik TNI.
Dalam kejadian di Tingginambut ini, seorang anggota Brimob Polda Papua tewas tertembak. Singkat cerita, inilah sekelumit kisah bagaimana sepanjang tahun 2009 ini OPM telah melakukan penyerangan di kawasan Tingginambut hingga tujuh kali serangan.
Jika kita cermati melalui manuver politik politisi Demokrat menggolkan RUU FRAA di Washington dengan kejadian kerusuhan berantai di Papua, bisa dipastikan kedua kejadian tersebut berkaitan satu sama lain.
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).
Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.
Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HAM.
Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu hal akan dimainkan Amerika ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden Amerika.
Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.
Di sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di kongres. Sebab dalam salah satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran- pelanggaran HAM di Papua.

Tidak ada komentar:

WEST PAPUA NEWS UPDATE