Kepingan negeri-negeri kecil itu sendiri menurutnya didirikan berdasarkan atas:
 1. Kepentingan rimordial (kesamaan etnis), 
  2. Ikatan ekonomis (kepentingan bisnis),
 3. Ikatan kultur (kesamaan budaya), 
  4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
  5. Ikatan regilius (membangun negara berdasar agama).
 Penyebab pertama adalah siklus tujuh abad atau 70 tahun. Dalam bukunya  ia menuliskan;  “Seperti kita ketahui, semua yang terjadi di alam ini  mengikuti suatu siklus tertentu. Eksistensi suatu bangsa dan negara juga  termasuk dalam suatu siklus yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum  alam. Dia mengambil contoh Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada abad  6-7 M di mana waktu itu rakyat di kawasan Nusantara bersatu di bawah  kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70 tahun kerajaan itu mulai buyar dan  muncul banyak kerajaan kecil yang mandiri berdaulat. Alhasil, di awal  abad ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal sejarah. Tujuh abad  kemudian (abad 13-14 M) lahir Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur  sekarang. Kerajaan besar itu berhasil menyatukan kembali penduduk  Nusantara. Namun, kerajaan ini pun bernasib sama dengan Sriwijaya.
 Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang dan bermunculanlah  kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun hilang ditelan  bumi. Tujuh abad pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945 (abad 20)  rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara bangsa  bernama Republik Indonesia (abad 20-21). Tahun 2015 akan bertepatan RI  merayakan HUT-nya yang ke-70″.     Dia pun menyatakan,  “Selama ini saya  selalu optimis, tapi melihat perkembangan di lapangan, apa yang terjadi  pada sesama anak bangsa, sungguh mengenaskan. Irama perpolitikan  nasional dewasa ini mengisyaratkan hitungan siklus bersatu dan bubar  dalam tujuh abad, 70 tahun tampaknya kembali terulang. Berbagai fenomena  alam yang menguat ke arah bukti kebenaran siklus sudah banyak kita  saksikan. Pertengkaran sesama anak bangsa, terutama elite politik, tidak  kunjung selesai, tulis Djuyoto. Penyebab kedua, Indonesia telah  kehilangan figur pemersatu bangsa. Setelah Ir Soekarno dan HM Soeharto,  tidak ada tokoh nasional yang benar-benar bisa mempersatukan bangsa ini.  Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat, paling mampu,  paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional yang  memimpin negeri ini belum menunjukkan berbagai sosok negarawan karena  dalam memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik golongan/kelompok  daripada kepentingan bangsa (rakyat) secara luas. Kehilangan figur tokoh  pemersatu adalah ancaman paling signifikan yang membawa negeri ini ke  jurang perpecahan”. Katanya tegas.     Pertengkaran sesama anak bangsa  yang sama-sama merasa jago dan hebat, masing-masing punya kendaraan  partai, punya jaringan internasional, punya dana/uang mandiri, punya  akses, merasa punya kemampuan jadi Presiden; merupakan penyebab ketiga  Indonesia akan pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil.  Masing-masing tokoh ingin menjadi nomor satu di suatu negara. Fenomena  ini sudah menguat sejak era reformasi yang dimulai dengan diterapkannya  UU Otonomi Daerah.     Salah satu penyebab Indonesia akan pecah di tahun  2015 karena adanya konspirasi global. Ada grand strategy global untuk  menghancurkan keutuhan Indonesia. Ada skenario tingkat tinggi yang ingin  menghancurkan Indonesia atau bahkan menghilangkan nama Indonesia  sebagai negara bangsa, tegasnya. Konspirasi global ini, Djuyoto Suntani  melihat, terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan menggunakan  kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini, arus  investasi, berbagai tema kampanye indah seperti demokratisasi, hak asasi  manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers, kemakmuran,  kesejahteraan, sampai pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis obat-obatan  terlarang dengan segmen generasi muda.     Penyebab utama kelima  Indonesia akan”‘pecah” dalam penilaiannya adalah faktor nama. Apa yang  salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia sesungguhnya berasal dari  warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India Timur alias Hindia  Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah sering  menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland  in-Asia atau kalau diartikan secara bebas  nama Indonesia sama dengan  singkatan Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama  Indonesia oleh Belanda memang memiliki agenda politik tersembunyi sebab  Belanda tidak rela Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar.
 Nama orisinil kawasan negeri ini yang benar adalah Nusantara, yang  berasal dari kata Bahasa Sansekerta Nusa (pulau) dan Antara. Artinya,  negara yang terletak di antara pulau-pulau terbesar dan terbanyak di  dunia sebab negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.  Bila para anak bangsa tahun 2015 mampu menyelamatkan keutuhan negeri ini  sebagai satu bangsa, salah satu opsi adalah dengan penggantian nama  dari Indonesia menjadi Nusantara. Nama Nusantara lebih relevan,  orisinil, berasal dari jiwa bumi sendiri dan lebih membawa  keberuntungan, pesan Djuyoto. Namun, karena perpecahan sudah di ujung  tanduk, salah satu agenda dalam membangun komitmen baru sebagai bangsa  dalam pandangannya adalah dengan cara (perlu direnungkan) mengganti nama  Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama memiliki arti serta memberi  berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa menjadi penyebab  negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut berpengaruh terhadap  keutuhan republik ini.     Nama Jakarta, Djuyoto mengungkapkan, memiliki  konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat. Bila kita ingin  menyelamatkan Indonesia dari ancaman perpecahan serta punya komitmen  bersama untuk membawa negara ini menjadi negara besar yang dihormati  dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya dikembalikan  kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih tepat sebagai  roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama Jakarta, sarannya.      Penyebab terakhir pecahnya Indonesia adalah gonjang ganjing pemilihan  Presiden tahun 2014.
 Dia menyatakan dalam Pilpres 2009 bisa saja sejumlah tokoh yang kalah  masih mampu mengendalikan diri tapi gejolak massa akar rumput yang  berasal dari massa pendukung tidak mau menerima kekalahan jago  pilihannya. Mereka lalu mempersiapkan diri untuk maju bertarung lagi  pada Pilpres 2014. Pilpres 2014 adalah puncak ledakan dashyat gunung es  yang benar-benar membahayakan integrasi Indonesia. Menurut Djuyoto dari  informasi yang ia peroleh di seluruh penjuru Tanah-Air, indikasi karena  gengsi kalah bersaing dalam Pilpres Indonesia lantas mengambil keputusan  radikal dengan mendeklarasikan negara baru bukanlah sekedar omong  kosong tapi akan terbukti. Pergolakan alam negeri ini seperti gunung es  yang tampak tenang di permukaan namun setiap saat pasti meletus dengan  dashyat.     Djuyoto Suntani menjelaskan, pada Pilpres 2014 bakal  bermunculan figur dari berbagai daerah yang mulai berani bertarung  memperebutkan kursi RI-1 untuk bersaing dengan tokoh nasional di  Jakarta. Para tokoh daerah sudah dibekali modal setara dengan para tokoh  nasional di Jakarta. Jika mereka kalah dalam Pilpres 2014, karena  desakan massa pendukung, opsi lain adalah mendirikan negara baru,  melepaskan diri dari Jakarta. Gonjang ganjing Indonesia sebagai bangsa  akan mencapai titik didih terpanas pada Pilpres 2014. Jika kita tidak  mampu mengendalikan keutuhan negeri ini, tahun 2015 Indonesia  benar-benar pecah. Para Capres Indonesia 2014 yang gagal ramai-ramai  akan pulang kampung untuk mendeklarasikan negara baru. Mereka merasa  punya kemampuan, punya harga diri, punya uang, punya jaringan dan punya  massa/rakyat pendukung. Perubahan dan pergolakan politik nasional pada  tahun 2014 diperkirakan bisa lebih dashyat karena tidak ada lagi figur  tokoh pemersatu yang dihormati dan diterima oleh seluruh bangsa.      Agar Indonesia tidak pecah, dia menyerukan seluruh elemen bangsa untuk  bersatu dan bersatu. Dia berharap seluruh bangsa menyadari ancaman yang  ada di depan mata dan kemudian saling bergandengan tangan bersatu untuk  menyelesaikan semua permasalahan bangsa. Djuyoto bilang buku ini ditulis  sebagai peringatan dini, sebagai salah satu wujud untuk berupaya  menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Dengan adanya buku ini  diharapkan semoga anak-anak bangsa mulai menyadari bahwa hantu Indonesia  pecah sudah berada di depan mata. Kalau sudah paham, diharapkan mulai  tumbuh kesadaran dari dalam hati lalu secara bersama-sama mengambil  langkah untuk mencegah..
 ke 17 negara itu antara lain.
 1.Naggroe Atjeh Darrusallam : Banda Atjeh 
  2.Sumatra Utara : Medan 
  3.Sumatra Selatan : Lampung
 4.Sunda Kecil : Jakarta 
  5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta 
  6.Yogyakarta : Yogyakarta
 7.Kalimantan Barat : Pontianak 
  8.Kalimantan Timur : Samarinda
 9.Ternate Tidore : Ternate 
  10.Sulawesi Selatan : Makassar 
  11.Sulawesi Utara : Manado
 12.Nusa Tenggara : Mataram
  13.Flobamora & Sumba: Kupang 
  14.Timor Leste : Dili
 15.Maluku Selatan : Ambon 
  16.Maluku Tenggara : Tual 
  17.Papua Barat : Jayapura
 Kita tunggu apa yang akan terjadi.
 Tulisan Terkait
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar