09/09/11

Bersama Solidaritas Keluarga 17 Korban, Deadline Polda

Dengan beranggotakan 118 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terdapat tujuh kelompok issu di Papua dan Papua Barat yang menjadi fokus Foker LSM Papua. Hal itu dilakukan dengan mengembangkan simpul-simpul region.
Berikut Laporan : Ahmad Jainuri
Septer ManufanduSepter Manufandu
Simpul-simpul region tersebut adalah pembagian wilayah Papua dan Papua Barat menjadi lima region (wilayah), yakni region utara, teluk cenderawasih, kepala burung, selatan dan region pegunungan tengah.  Tujuh issu yang kemudian diadvokasi dengan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja), yakni Pengelolaan  Sumber Daya Alam (PSDA); Perempuan dan Anak serta Gender;  kesehatan, HIV dan AIDS; tata pemerintahan; hukum dan HAM; masyarakat adat; dan Unit Rescue Emmision From Degradation dan Deforestation.
“Dan saya sebagai Sekretris Eksekutif, itu memang diamanatkan untuk menjalankan isu-isu strategis ini menjadi penting,” jelas Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua, Septer Manufandu.

Karena begitu banyak lembaga-lembaga yang masuk dalam jaringan Foker LSM Papua, menurutnya Foker member otonomi di setiap wilayah region untuk mengelola wilayahnya sendiri.
“Terutama untuk mengambil isu strategis di wilayah untuk kemudian melakukan advokasi-advokasi dan juga mendampingi masyarakat, kerja-kerja pengembangan masyarakat di tingkat kampung. Dan secara khusus di tingkat provinsi maupun nasional dan internasiomnal, itu diperankan oleh Sekretaris Eksekutif,” lanjutnya.
Dengan visi ‘Terwujudnya tata kehidupan sosial budaya, politik, hukum, ekonomi dan alam yang adil, damai dan demokratis bagi masyarakat adat baik laki-laki maupun perepuan di Tanah Papua’, kerja Foker bertujuan mendorong perberdayaan partisipan, lembaga adat dan organisasi rakyat sebagai proses penguatan masyarakat sipil yang bertumpu pada pendekatan integratif perspektif Gender, HAM, dan lingkungan.
Dari sejarah keberadaan dan perjalanan Foker LSM Papua, diketahui bahwa inisiatif pembentukan Foker LSM Papua muncul dari sebuah diskusi kelompok aktivis LSM yang memiliki perhatian khusus terhadap berbagai persoalan yang dihadapi di Provinsi Papua.
Diskusi yang mulai digelar awal tahun 1989 dan dilatar belakangi oleh keluarnya kebijakan Presiden RI pada 4 April 1989 tentang pemekaran orientasi pembagunan untuk Indonesia Bagian Timur (IBT).
“Kebijakan tersebut telah menciptakan kekhawatiran para aktivis LSM akan terjadi eksploitasi SDA besar-besaran di Tanah Papua. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, mengingat berbagai bukti empirik tentang kecenderungan pembangunan di Tanah Papua yang dijalankan pemerintah sebelumnya telah secara sistematis meminggirkan rakyat Papua dari penguasaan di ruang public dalam aspek politik, ekonomi, social dan budaya,” ujarnya.
Diceritakan bahwa bagian dari issu yang telah mendapatkan advokasi oleh LSM jaringan maupun  kelompok kerja Foker LSM, untuk kerja dari Pkokja Hukum dan HAM, telah menggelar diskusi public yang mengambiul thema ‘Yap Thiam Hien Award 2009 : Prediksi Penegakan Demokrasi dan HAM Tahun 2010 di Tanah papua’ yang digelar di Aula STFT, Padang Bulan 13 Januari 2010.
Diskusi public dengan narasumber Septer Manufandu(Foker LSM), Anum Siregar (AlDP), Pastor Neles Tebay (Ketua STFT/Tokoh Agama) dan Weinand Watori (Wakil Ketua Komisi A DPRP) tersebut, menurut Septer pada umumnya menyimpulkan terkait akan terus berlangsungnya terror dan intimidasi dialami kelompok-kelompok masyarakat sipil yang memperjuangkan proses-proses demokrasi di Tanah Papua.
Dari Pokja tersebut juga pernah menggelar audiensi bersama Kapolda Papua pada 27 Maret 2010 terkait hilangnya 17 orang yang hilang antara perairan Mamberamo-Serui, yang hingga berita ini diturunkan masih menyisakan misteri.
Dalam pertemuan yang dihadiri Dekenat Keerom, Foker LSM Papua, Kontras Papua, LBH Jayapura dan perwakilan keluarga korban, solidaritas keluarga korban mengeluarkan tuntutan kepada Polda Papua untuk lebih serius dengan membentuk tim khusus untuk menginvestigasi dan pencarian fakta atas hilangnya 17 penumpang speed boat tersebut.
Solidaritas yang dalam pertemuan tersebut bersedia memberikan dukungan moril terhadap Tim Investigasi, juga memberikan batas waktu (deadline) selama 1 tahun untuk tim tersebut dapat mengungkap nasib ke 17 penumpang speed boat yang hilang.
Masih dari Pokja Hukum dan HAM, juga pernah menggelar workshop dengan thema ‘Konsolidasi perjuangan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM Berat di Papua’.
Kegiatan yang diselenggarakan selama tiga hari (19-21 April 2010) di Rumah Bina waena tersebut, dilator belakangi banyaknya korban pelanggaran HAM berat di Papua.
“Itu dapat dilihat dari berbagai kasus yang terjadi sejak Orde Barubahkan setelah Negara ini melakukan reformasi,” tandasnya.
Dalam penanganan kasus-kasus HAM, dari workshop tersebut diketahui bahwa tidak secara tuntas diselesaikan. “Bahkan terkesan Negara melepaskan tanggungjawabnya terhadap warganya,” jelasnya.
Hal itu, menurutnya dapat dilihat dari kurang seriusnya Negara menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus Mapenduma Tahun 1996, Biak Berdarah 1998, Uncen berdarah 1998, Sorong Berdarah 5 Juli 1999, Kasus Timika Tahun 1999, dan berbagai kasus HAM lainnya di Papua.
Masih banyak advokasi yang telah dilakukan terkait berbagai issu yang terjadi di Papua, yang telah mendapat advokasi Foker LSM Papua, dari kelompok kerja lainnya.(bersambung/l03)

Tidak ada komentar:

WEST PAPUA NEWS UPDATE